Sastra selalu berhubungan dengan hidup dan kehidupan sehari-hari. Karya sastra menjadi suatu media bagi seseorang untuk mengungkapkan apa yang dirasakan, dilihat, didengar, dan dialami. Secara umum, bentuk karya sastra ada dua, yaitu prosa dan puisi. Karya sastra cenderung subjektif karena dibuat oleh seseorang. Untuk memahami maksud pengarang kita bisa melihat unsur-unsur sebuah sastra, yaitu intrinsik dan ekstrinsik.
Pada pembahasan ini, saya akan fokus pada puisi "PADAMU JUA". Pengapresiasian sebuah puisi dapat dinilai dari unsur intrinsik (tema, amanat, rima, ritma, irama, majas, kesan, dan diksi) dan unsur ekstrinsik (biografi, agama, pandangan hidup pengarang, adat, sosial-budaya-politik masyarakat, dll).
"Kalau kita membuat ulasan puisi, hal-hal yang perlu diulas terutama adalah unsur-unsur intrinsiknya. Unsur ekstrinsik dan hubungan intertekstualitas (hubungan dengan puisi-puisi lain, kalau ada) perlu dikaji karena akan membantu kita untuk lebih meningkatkan pemahaman"(Maskurun, 2003, hal. 140).
Puisi “PADAMU JUA” mempunyai makna yang dalam untuk menggambarkan pengenalan penyair akan Tuhannya. Kita bisa memahami isi puisi tersebut dari kata-kata setiap baris. Baris-baris saling berpautan untuk mengungkapkan rasa cinta dan kecewa seorang Amir Hamzah. Pilihan kata dalam tiap baris turut memperindah bahasa puisi. Akan tetapi, pilihan kata yang tidak biasa ini mempersulit kaum awam untuk memahami dengan jelas, seperti kata kandil, pelik dan nanar. Waluyo (2005, hal. 9) mengatakan bahwa penyair ingin menggambarkan sesuatu secara lebih konkret. Oleh karena itu, kata-kata diperkonkret. Bagi penyair mungkin dirasa lebih jelas karena lebih konkret, namun bagi pembaca sering lebih sulit di tafsirkan maknanya. Selanjutnya, pemahaman bait-bait puisi ini akan saya kaitkan dengan iman saya yaitu perspektif Kristiani.
PADAMU JUA
Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dulu
Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu
Satu kekasihku,
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa
Di mana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati
Engkau cemburu, engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas
Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara di balik tirai
Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu-bukan giliranku
Mati hari-bukan kawanku
(karya: Amir Hamzah)
Bait Pertama, penyair menyatakan kehidupan di dunia yang bersifat sementara. Segala sesuatu pasti akan terkikis habis atau musnah. Pada akhirnya, tidak ada yang bisa diandalkan oleh penyair dalam masa hidupnya. Cinta manusia (penyair) pun terbatas oleh ruang dan waktu. Maka dari itu, pada baris ketiga dan keempat, penyair mulai sadar akan keberadaan Tuhannya yang melebihi ruang dan waktu. Kesadaran ini membuat penyair mengakui segala sesuatu dimulai oleh Tuhan dan akan kembali padaNya.
Kebenaran di atas terdapat dalam Alkitab. Alkitab mengatakan segala sesuatu di bawah matahari ada waktunya (Pengkhotbah 1:1-11; 3). Leighton & Scougal (2005, hal. 65) mengatakan bahwa waktu di dunia sangat singkat. Hanya sebentar saja dan kita semua masuk dalam kubur yang gelap dan sunyi. Iman Kristen juga mempercayai bahwa setelah kematian, semua manusia akan menghadap Penciptanya. Mazmur 90: 3 berbunyi “Engkau mengembalikan manusia kepada debu, dan berkata:”Kembalilah, hai anak-anak manusia!”. Pada pasal yang sama, Musa menggambarkan kehidupan manusia yang hanya sampai 70-80 tahun (Maz. 90: 10). Ayub 1: 20 berbunyi “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan akan kembali ke dalamnya. Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan!”.
Bait Kedua dan Keempat, mengungkapkan kedekatan penyair dan pengenalan terhadap pribadi Tuhannya. Bait kedua cenderung memperlihatkan kebaikan atau pertolongan Tuhan di masa-masa sulit kehidupan penyair. Dalam masa ini, penyair juga memiliki pengharapan untuk menemukan jalan keluarnya. Hal ini ditandai dengan baris kedua. Selain itu, penyair menggambarkan pribadi Tuhannya yang sabar dan setia walaupun penyair sering melakukan kesalahan. Sebaliknya dalam kesabaran Tuhan, penyair juga menceritakan akan pribadi Tuhan yang cemburu dan ganas. Terkadang, penyair merasa Tuhan melakukan hal yang saling bertentangan. Tuhan seolah-olah selalu memperhatikan hidup penyair, di lain waktu Tuhan juga membiarkan penyair berjalan sendiri.
Mazmur 23: 4 mengungkapkan seorang Daud yang bersandar kepada kekuatan Tuhan. Dia mengimani ketidaktakutannya sekalipun dalam lembah kekelaman. Di samping itu, Tuhan memang mengizinkan kekelaman dalam kehidupan orang percaya. Tujuannya adalah agar kita merefleksikan keterbatasan kita. Dari sinilah, kita boleh belajar mengandalkan Tuhan dan merasakan pertolongan serta kesetiaan saat berseru padaNya (Ayub 12: 4). Demikian juga jawaban Tuhan ketika Rasul Paulus berseru, “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna”(II Kor. 12: 9a). Sproul (2005, hal. 66) mengatakan bahwa kita berhadapan dengan malapetaka, penderitaan, ketidakadilan, dan kejahatan yang lain. Namun Allah dengan kebaikan-Nya melampaui semua itu dan bekerja di dalam semua itu untuk kebaikan kita.
Gambaran pribadi Tuhan seperti pada dua bait di atas sering juga menjadi tanda tanya besar dalam kehidupan orang Kristen. Ada ayat Alkitab yang mengatakan Tuhan itu sabar dan setia, tetapi ada juga ayat yang mengatakan Tuhan itu cemburu dan kejam. Untuk menjawab pertanyaan seperti ini, kita harus mengimani bahwa pribadi Tuhan tidak mungkin bertentangan. Di samping sabar dan setia, Tuhan juga bersikap adil. Setiap tindakan manusia selalu ada konsekuensi. Jadi, Tuhan pasti akan menghukum ketika manusia berusaha menentang kehendak Tuhan. Contoh konkritnya adalah air bah pada masa Nabi Nuh (Kej. 7). Leighton & Scougal (2005, hal. 66) mengatakan bahwa Ia akan turun dari sorga dalam api yang menyala-nyala untuk mengadakan pembalasan terhadap mereka yang tidak mau menerima anugerahNya dan terus memberontak menentang Dia (Lihat II Tes. 1: 7-9).
Saya tidak memahami kecemburuan Tuhan yang dimaksud oleh penyair. Tetapi, Keluaran 20: 5 mengatakan pribadi Tuhan yang cemburu. Kecemburuan Tuhan tidaklah sama dengan kecemburuan yang umum terjadi pada manusia. Kecemburuan Tuhan sangat beralasan. Alasannya, Tuhan telah membebaskan umat Israel dari perbudakan dan Israel menjadi milikNya. Wajar saja Tuhan cemburu ketika Israel atau umat pilihanNya berpindah hati dan menyembah ilah lain.
Kebingungan penyair (bait keempat) atas penyertaan Tuhan turut mewarnai perjalanan hidupnya. Sebagai orang Kristen, sering kali kita meragukan penyertaan Tuhan. Dalam beberapa kasus, kita bertanya-tanya sebenarnya Tuhan masih ada tidak dalam hidup saya. Sepertinya, Tuhan sudah lepas tangan atas beban hidup kita. Namun, itu hanyalah perasaan manusia semata. Tong (1992, hal. 26) mengatakan bahwa cara Tuhan seringkali melawan logika dan pikiran manusia, tetapi justru cara Tuhan adalah cara yang terbaik. Tuhan tetap setia berada pada posisinya hanya manusia yang semakin jauh dari hadapanNya. Iblis selalu bekerja mengingatkan kesalahan masa lalu sehingga kita merasa tidak layak kembali kepada Tuhan.
Bait Ketiga, penyair mengakui keinginan bersama dalam wujud nyata Tuhan. Penyair menggambarkan Tuhan layaknya kekasih hati. Bait ini membawa pembaca membayangkan seorang yang sedang jatuh cinta. Rasanya ingin berjumpa setiap waktu. Justru kenyataan berbicara lain. Cinta penyair sepertinya bertepuk sebelah tangan. Sebagai manusia, penyair tentu saja membutuhkan suatu rasa dan rupa yang jelas dari Tuhan. Bahkan, pada baris kelima penyair sempat mempertanyakan keberadaan Tuhan.
Pertanyaan keberadaan Tuhan secara fisik banyak muncul di kalangan orang Kristen. Orang Kristen demikian memang membutuhkan tanda-tanda barulah bisa percaya. Tokoh di Alkitab seperti itu adalah murid Yesus sendiri, yaitu Tomas. Tomas belum mempercayai kebangkitan Yesus dari antara orang mati sebelum mencucukkan jarinya ke lubang bekas paku di tangan Yesus. Tetapi, setelah bertemu dan Tomas mecucukkan jarinnya dan mecucukkan tanganya ke dalam lambungNya, barulah dia percaya. (Yoh. 20: 25-29). Sayang, Tomas yang begitu lama mengikuti Tuhan Yesus mempunyai iman seperti ini. Saya yakin iman seperti Tomas banyak terdapat di pemikiran orang Kristen saat ini. Pada bagian terakhir dari ayat ini Tuhan Yesus mengingatkan bahwa berbahagialah mereka yang tidak melihat , namun percaya.
Bait Kelima, penyair mengalami puncak kebingungan sampai nanar (marah) dan gila sasar. Walaupun demikian, semakin jauh rasa bingung itu memperkuat rasa ingin bertemu dan rasa sayangnya kepada Tuhannya. Keberadaan Tuhan yang melebihi keinginan penyair tidak membuat dia putus asa untuk mengenalnya secara dekat. Pada baris terakhir, penyair menggambarkan keberadaan Tuhan serupa dara di balik tirai. Penyair tidak menyangkal Tuhan itu ada, melainkan samar-samar. Inilah yang membuat penyair berjuang untuk tetap mendekat dengan Tuhan.
Perjalanan kehidupan Kristen menuntut satu ketekunan. Dalam ketekunan, orang-orang percaya memiliki pengharapan yang teguh. Iman orang percaya seperti emas dalam perapian. Semakin lama di panaskan, semakin terlihat kemurniannya. Rasul Paulus menekankan dengan detail akan hal ini dalam suratnya untuk jemaat di Roma. Roma 5: 3-5a berbunyi:”Dan bukan hanya itu saja. Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan. Dan pengharapan tidak mengecewakan…”.
Bait Keenam atau bait terakhir, penyair menutup dengan satu tekad untuk tetap untuk menjaga hubungannya dengan Tuhan. Dia yakin ada suatu waktu yang mempertemukannya tapi bukan waktu yang penyair tentukan melainkan Tuhan. Walaupun dia harus menanti sampai seorang diri, dia pun meneruskannya.
Orang-orang percaya menyadari hubungan dengan Tuhan adalah satu kasih karunia Allah. Hubungan ini murni tercipta atas inisiatif Allah. Allah yang memulai hubungan ini dan Ia tidak mungkin mengingkarinya. Dalam hubungan tersebut Tuhan Yesus menuntut satu kesempurnaan dengan Bapa di Surga. Manusia tidak mungkin akan sempurna tetapi melalui karya Tuhan Yesus di atas kayu salib memampukan manusia menuju kesempurnaan. Kesempurnaan di sini berarti bertemu muka dengan muka antara orang percaya dengan Bapa di Surga.
KESIMPULAN
Keseluruhan pembahasan puisi “PADAMU JUA” di atas menyangkut membina hubungan pribadi dengan Tuhan dan membuktikan bahwa orang percaya tidak jarang jatuh bangun. Sadar tidak sadar, hal demikian juga bagian dari rencana Tuhan supaya orang percaya semakin mengenal dan menjadi sempurna seperti Tuhan Yesus. Di akhir ini, saya menutup dengan satu kutipan, sebagai berikut:
“…., pengalaman dukacita dan kesulitan kerap mendidik kita pada jalan kebenaran. Firman Tuhan mengatakan bahwa disiplin atau ajaran Tuhan awalnya memang mendatangkan duka, namun akhirnya membuahkan damai. Dukacita dan kesulitan sering menolong kita untuk mengingat Tuhan serta hal-hal yang bersifat kekal”(Simanjuntak & Ndraha, 2004, hal. 82).
Referensi:
Leighton, R., & Scougal, H. (2005). God’s abundant life [Hidup yang berlimpah di dalam Allah]. Surabaya: Momentum.
Maskurun. (2003). Bahasa dan sastra untuk SMK. Yogyakarta: LP2IP Gajahmada.
Simanjuntak, J., & Ndraha, R. (2004). Seni merayakan hidup yang sulit: Bagaimana mengerti pimpinan Tuhan dan bersyukur saat menghadapi kesulitan. Jakarta: Layanan Konseling Keluarga dan Karir.
Sproul, R. C. (2005). Kebenaran-kebenaran dasar iman Kristen. Malang: SAAT.
Tong, S. (1992). Hidup Kristen yang berbuah. Surabaya: Momentum.
Waluyo, H. J. (2005). Apresiasi puisi untuk pelajar dan mahasiswa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Minggu, 01 Juni 2008
Langganan:
Postingan (Atom)